Tuesday, June 14, 2011

namanya cinta

FYI > cerpen ini, cerpen pertama yang menghasilkan uang buat gw, meski cuma Rp 20ribu. cerpen ini dibuat untuk tugas kuliah temen gw. usut punya usut, kabar punya kabar, ini cerpen termasuk 10 besar cerpen terbaik dikelasnya. hahahahahahah... senangnya saya n_nmaaf ya untuk teman ku yang sudah "membeli" cerpen ini tapi tetap saya post disini. toh ga akan di lirik sama "penerbit" juga. atau ga akan di baca dosen mu juga xp
ok met' baca bloggers ^^


Namanya Cinta

            Mungkin bisa dibilang ini pengalaman yang sedikit menyakitkan tapi tanpa mengalaminya aku tak mungkin bisa jadi pria yang lebih dewasa dan lebih bijak lagi. Ia cantik, ia pintar, ia manis dan aku hanya bisa memandangnya.

***

            Ia duduk di meja yang sama pada saat yang sama pula dengan hari pertama aku melihatnya. Saat itu aku hanya tahu kalau ia seorang gadis SMA atau tepatnya adik kelasku. Ia duduk bersama teman-temannya di meja kantin yang tak jauh dari pandanganku. Melihat senyumnya, tawanya, candanya dan cerianya membuatku seakan melayang ke langit paling tinggi. Apa ini yang namanya cinta?!

***

            “Hiks… hiks… hiks…”
            “Kamu kenapa?” tanyaku menghampiri gadis kecil yang terduduk lemas di taman komplek sore itu. Ia terus menangis. “Kenapa? Aku gak bisa bantu kamu kalau kamu gak cerita kenapa kamu nangis,”
            “Teddy Bearku. Hiks… hiks… hiks… “
            “Kenapa Teddy Bearnya?”
            “Teddy ku dibuang ke dalam got sama anak-anak itu. Hiks… hiks… hiks… “

            Gadis kecil itu menunjuk kearah segerombolan anak laki-laki yang lebih tua dan mungkin juga lebih kuat dariku. Ketakutan mulai merajaiku. Tapi aku sudah berniat menolongnya mana mungkin aku mundur lagi! Tegasku dalam hati.

            “Di buang ke dalam got itu?” tanyaku sambil menunjuk kearah sebuah got yang penuh dengan lumpur dan air kotor yang tepat berada tidak jauh dari tempat kami berada. Gadis kecil itu hanya mengangguk sambil menghapus air matanya.
            “Kakak mau tolong aku?” tanyanya  dengan wajah yang begitu manis. Wajahku memerah dan panas. Tak tau apa yang  harus ku lakukan. Aku terdiam membisu dengan wajah yang semerah udang rebus.
            “Kakak!? Kakak kenapa?” tanya Gadis Kecil polos. Wajahku semakin memerah dan panas. Jantungku berdekup begitu hebat. Lidahku kaku. Wajahnya begitu manis. Ku coba kuatkan hati dan sedikit tersenyum.
            “Heheheheheh… gak apa-apa kok! Yuk kita ambil Teddy Bearnya!”

***

            “Ketemu gak Kak?” tanya Gadis Kecil saat aku mengobrak-abrik got mencari Teddy Bear miliknya. Tubuhku penuh dengan lumpur dan bau. Tapi entah kenapa aku senang melakukannya. Aku terus mencari dan mencari. Bukan berharap cepat menemukannya tapi berharap lebih lama bersama Gadis Kecil.
            Kakiku menyentuh sesuatu yang berbulu dan lembut. Aku terdiam sejenak. Melihat wajah Gadis Kecil yang berharap bisa cepat bertemu dengan boneka kesayangannya. Tak tega juga melihatnya. Tapi aku masih ingin bersama dengannya. Aku tidak boleh egois!
            Ku dekatkan tanganku dengan kakiku, mencoba menarik keluar apa yang kakiku rasakan. Aku mengangkat sebuah boneka beruang cokelat yang penuh dengan lumpur dan basah. Senyum mengembang di wajah Gadis Kecil. Hatiku semakin tak karuan. Wajah memerah dan jantung berdekup begitu kencang. Ternyata wajah ceria Gadis Kecil lebih manis.

***

            Sepanjang jalan dari taman komplek, aku berjalan bersama Gadis Kecil, memeluk boneka yang penuh dengan lumpur sama dengan tubuhku yang juga penuh dengan lumpur. Gadis Kecil tak sungkan menggandeng tanganku yang kotor juga berjalan bersamaku yang penuh lumpur dan bau. Ia terus tersenyum. Semua mata melihat kearahku. Mungkin dibenak mereka, aku adalah kakak yang baik menolong adiknya mengambil boneka yang jatuh ke dalam got. Ya, tak apa lah. Selama itu pandangan yang positif terhadapku. Tapi jujur! Aku belum pernah menjadi pusat perhatian seperti ini, karena itu wajahku memerah dan sedikit nervous.

            “Rumah kamu dimana?” tanyaku pada Gadis Kecil. Gadis Kecil diam, mencoba mengingat rumahnya. Tanpa banyak bicara ia menarik tanganku berbelok di pertigaan komplek.
            Jadi dari taman komplek rumahnya belok ke kiri!? Eh!? Ini kan…

            Gadis Kecil terus menarik tanganku. Aku masih terkagum-kagum dengan rumah-rumah mewah disini. Maklum saja meski satu komplek tapi ada banyak tipe rumah sesuai ekonomi si pemiliknya dan mungkin saja orang tua Gadis Kecil salah satu dari mereka yang punya rumah di kawasan elit ini.
            Gadis Kecil berhenti tepat didepat rumah minimalis bercat pink. Seorang wanita yang sedang sibuk dengan tanamannya terkejut melihat aku yang penuh dengan lumpur dan Gadis Kecil. Ia berlari keluar pagar secepat yang ia bisa.
            “Mama!” peluk Gadis Kecil, menangis di pelukan Wanita itu. Dengan bingung ia membelai pelan rambut panjang anak perempuannya. “Tadi aku di jahatin lagi di taman. Tapi sekarang Kakak ini nolong aku, Ma,”
            Wanita itu terlihat cantik, ya mungkin benar pepatah buah tak kan jatuh jauh dari pohonnya. Kalau ibunya cantik ya pasti anaknya juga cantik.
            “Terimakasih ya!” senyum Wanita itu. “Kamu jadi penuh lumpur seperti ini, maaf ya!”
            Aku tersipu malu.

            Wanita itu memperbolehkan aku membersihkan diri dirumahnya, tapi aku menolaknya. Hari sudah semakin malam, aku takut membuat Ibu khawatir, jadi aku pamit pulang.

***

            Setibanya di rumah, melihatku penuh dengan lumpur dan bau, Ibu memarahiku habis-habisan dan menghukumku untuk membersihkan kolam ikan juga mencuci mobil Ayah selama seminggu penuh. Tanpa mendengar penjelasanku, Ibu menghukum seenaknya saja! Sebal dan kesal tapi aku senang. Bukan karena hukuman yang Ibu berikan tapi karena Gadis Kecil. Apa aku bisa bertemu lagi dengannya ya!?

***

            Sejak hari itu hampir setiap sore aku ke taman komplek berharap bisa bertemu dengan Gadis Kecil lagi. Tapi sudah empat hari aku tidak juga bertemu dengannya. Kecewa. Sangat kecewa.
            Ah! Kenapa tidak aku pergi kerumahnya saja!? Jenius! Kenapa selama empat hari ini aku menunggu Gadis Kecil di taman komplek padahal aku bisa langsung pergi ke rumahnya!? Heru, kau memang sungguh jenius!!!

***

            Saat itu juga aku berlari sekuat tenaga, secepat yang aku bisa. Senang. Tak sabar rasanya untuk bertemu lagi dengan Gadis Kecil. Jantungku berdetak kencang, entah karena aku berlari kencang atau karena tak sabar untuk bertemu lagi dengan Gadis Kecil. Aku tak peduli! Benar-benar tak peduli karena apa! Yang ku ingin hanya cepat tida di depan rumahnya.

            Dengan nafas yang tidak beraturan, aku berdiri manis di depan rumah Gadis Kecil. Sekarang terjadi konflik kecil dalam hatiku. Bunyikan bel dan masuk kedalam atau tetap diam disini??
            Yang ada aku hanya mondar-mandir didepan rumahnya. Seperti orang bodoh yang lupa bagaimana caranya menyalakan televisi.

            “Kakak!” panggil Gadis Kecil yang berdiri di teras rumahnya bersama Wanita Cantik. Gadis Kecil tersenyum manis dan berlari kearah pagar rumahnya. “Kakak, ayo masuk!” pintanya.
            Aku hanya terdiam bingung dan malu. Dengan tidak sabar, Gadis Kecil menarik tanganku masuk kedalam rumahnya. Wanita Cantik hanya tersenyum senang dan ramah saat aku menyapanya dengan sopan.

***

            Sore itu aku menemani Gadis Kecil bermain di rumahnya. Rumahnya sangat berbeda dengan rumahku. Rumahnya luas dan banyak mainan. Tidak seperti rumahku yang sederhana dan ya begitulah.
            Yang Wanita Cantik ceritakan, Gadis Kecil anak tunggal jadi ia sedikit manja dan cengeng. Itu juga yang menjadi alasan kenapa Gadis Kecil selalu bosan berada di rumah, sementara itu jika bermain keluar rumah selalu dijahili.

            Aku sih senang-senang saja bermain disini bersama Gadis Kecil dan disuguhi kue-kue yang enak.

***

            Sudah hampir seminggu lebih, setiap sore aku bermain di rumah Gadis Kecil. Sore itu aku kembali berjalan dengan riang, membayangkan apa lagi yang akan kami mainkan. Tapi aku berhenti tepat dua rumah sebelum rumah Gadis Kecil. Ada beberapa orang berseragam mengangkut semua barang-barang dalam rumah dan memasukkannya kedalam sebuah mobil besar. Gadis Kecil hanya duduk di tepi trotoar memeluk Teddy Bearnya.
            Gadis Kecil menoleh kearah ku dan berdiri dari duduknya. Aku mencoba mendekatinya tapi tak bisa. Aku hanya berdiri membatu. Gadis Kecil berjalan kearahku. Ada jarak sekitar satu meter antara kami.
            “Hari ini Papa harus pindah kerja ke Jogja,” cerita Gadis Kecil, menerangkan kenapa ada orang-orang yang mengangkut barang-barang dirumahnya. “Jadi aku sama Mama juga harus ikut Papa,”
            Aku hanya bisa diam.
            “Aku sedih gak bisa ketemu lagi sama Kakak,”
            “……”
            “Kemarin aku tanya sama Mama, apa Kakak boleh ikut? Tapi kata Mama, nanti Papa dan Mama Kakak sedih kalau pisah sama Kakak,”
            “……”
            “Jadi aku harus mau pisah sama Kakak. Tapi biar Kakak gak sedih pisah sama aku, Teddy aku titipin ke Kakak aja ya! Jaga Teddy ya Kak!”

            Senyum itu tak kan ku lihat lagi. Senyum manis Gadis Kecil. Aku menerima Teddy Bear pemberian Gadis Kecil. Sedih tapi aku tidak bisa menangis. Tidak didepan Gadis Kecil.
            Gadis Kecil melambaikan tangannya dari dalam mobil. Senyum terakhir yang bisa ku lihat. Mobil itu perlahan menjauh dan aku baru teringat aku belum tahu nama Gadis Kecil juga tidak memberinya hadiah perpisahan.

            Sekuat yang ku bisa aku mengejar mobilnya. Aku hanya bisa memberikannya kunci kamarku yang bergantungkan dadu tanpa sempat  menanyakan namanya.

***

            Di rumah, Ibu memarahiku karena aku menghilangkan kunci kamarku sendiri. Aku benar-benar tidak peduli dengan omelan Ibu. Aku benar-benar sedih.

            Di kamar, aku hanya duduk memandang jendela sambil memeluk boneka beruang pengganti kunci kamarku. Sedih. Bahkan kesedihan ini tak bisa ku gambarkan. Dan air mata pun enggan menemaniku.
            Lucu, mungkin, seorang anak laki-laki kecil yang masih berumur sepuluh tahun bisa merasakan kesedihan yang teramat pedih saat berpisah dengan teman kecilnya. Apa ini yang namanya cinta?!

***

            Tujuh tahun setelah kejadian itu. Aku menjadi pria remaja yang ceria. Ya paling tidak ku jalani hidupku seperti biasa, seperti pria remaja lainnya. Nongkrong, bercanda, belajar dan mungkin sedikit melirik teman-teman perempuanku.
            Tak lagi berpikir tentang Gadis Kecil, teman masa kecilku. Ya, mungkin beberapa saat aku merindukannya tapi hanya sebatas rindu. Namanya saja aku tak tahu, lagi pula aku tak ingin terus-menerus bersedih. Toh dalam hidup ada pertemuan pasti ada juga perpisahan kan!? Lagi juga wanita itu datang dan pergi, maksudku jika pergi satu masih ada wanita yang akan datang, benar kan??

***

            Aku berlari sepanjang koridor sekolah. Gara-gara semalam bela-belain nonton bola jadi kesiangan deh! Huh! Sial!!!

            Sepanjang koridor, aku mengumpat dalam hati. Dan tanpa sadar menabrak seseorang. Tanpa menghiraukannya, aku terus berlari sambil berteriak maaf.

***

            Hari ini benar-benar sial! Mulai dari bangun kesiangan sampai ulangan dadakan. Teman-temanku hanya menertawakan kemalanganku.
            Istirahat pertama aku dan teman-temanku duduk didalam kelas, bermain gitar dan benyanyi bersama. Banyak canda dan tawa yang kami bagi bersama. Ya, sejak SMP kami sudah berteman jadi wajar saja jika kami dekat seperti ini.
            Seorang gadis yang belum pernah ku lihat, melewati kelasku dan membuyarkan pikiranku. Mataku hanya tertuju padanya. Aku seakan kembali ke tujuh tahun yang lalu. Aku teringat pada Gadis Kecilku.
            Dan sekarang aku disini. Duduk memandangi dari jauh Gadis Kecilku dulu yang kini sudah remaja. Entah Gadis Kecil sadar atau tidak, tapi entah kenapa aku yakin dia adalah Gadis Kecilku yang dulu.

***

            “Ru!” tegur Nara, temanku. Sedikit mengejutkanku sebenarnya. “Elo ke kantin gak ngajak-ngajak kita!”
            Nara dan Willy duduk tepat disampingku sambil meminum softdrinknya. “Elo berdua yang ngilang kayak setan!” jawabku asal. “Jadi jangan salahin gue kalau gue ninggalin elo berdua!”
            “Ya udahlah! Kita udah disini juga!” lerai Willy. Diantara kami bertiga, Willy lah yang paling bijak dan yah, dewasa.
            “Dari tadi gue sama Willy perhatiin, elo diem aja. Ngeliatin apaan sih?!”
            “Masa?! Enggak ah! Salah liat kali elo!”
            “Dia nyoba ngeles! Gak usah boong elo sama kita!”
            “Enggak ada apa-apa kok! Udah ah! Balik ke kelas yuk!”

***

            Sepanjang perjalanan pulang. Aku berpisah dengan Willy dan Nara karena berbeda arah pulang. Siang itu sangat panas tapi entah kenapa aku tidak merasa lemas atau apalah. Aku hanya ingin cepat tiba di rumah dan melihat boneka beruang Gadis Kecil.
            Ku nikmati perjalanan pulangku sendiri. Sampai kakiku terhenti di taman komplek. Taman komplek yang sepi. Aku hanya ingin duduk di ayunannya saja tanpa alasan yang berarti. Hari semakin panas tapi tak ada niat sedikit pun meninggalkan taman. Ku kenang semua kenangan tujuh tahun yang lalu.

            Tujuh tahun yang lalu, tepat dihadapanku seorang gadis kecil duduk lemas menangis sedih karena bonekanya dibuang oleh segerombolan anak nakal. Dan sekarang seorang gadis remaja cantik berdiri tepat dihadapanku.
APA!?

            Aku terjatuh kebelakang ayunan sangking terkejutnya. Dengan spontan, gadis itu mencoba menolongku yang sudah berdiri dibelakang ayunan. Hening seperti malam yang sepi, padahal hari itu siang hari yang sangat panas.
            Aku hanya bisa menatap wajahnya yang tersenyum manis. Gadis itu memakai sebuah kalung yang berliontinkan sebuah kunci dan dadu. Wajahku memerah. Jantungku berdekup kencang.
            Sekitar empat jam yang lalu aku masih melihatnya dari jauh, duduk di kantin sekolah bersama teman-temannya. Kini aku melihatnya dengan jarang kurang dari satu meter, ia berdiri tepat dihadapanku.
            Tujuh tahun yang lalu aku hanya berharap untuk bisa melihat lagi senyum manis itu. Tapi sekarang semua harapan itu menjadi nyata, meski perlu waktu lama untuk mewujudkannya.
            Wajahku semakin memanas dan memerah. Detak jantungku terdengar hingga keluar. Aku jadi cemas kalau ia juga bisa mendengar detak jantungku.

            “Kakak, apa kabar?” tanya Gadis Kecil ku. Aku benar-benar tidak menyangka ia masih mengingatku!? Atau ini semua hanya mimpi!? Gadis Kecil tersenyum manis, mendekati ku. Secara respon aku mundur satu langkah. Tapi aku tetap tidak bisa mengindar. Ia membersihkan debu dan pasir dari rambutku. “Kakak masih tetap lucu kayak dulu,”
            Wajahku semakin memerah dan memanas. Tak tahu apa yang harus ku katakan. Aku hanya bisa diam mematung. Senyumnya terlihat semakin manis, membuatku semakin salah tingkah.
            Apa ini benar kenyataan atau hanya lamunanku!?
            Ku yakinkan diriku jika ini memang bukan sekedar lamunan belaka. Gadis Kecil kembali dan sekarang berdiri dihadapanku.

***

            Aku berjalan bersamanya. “Rumah mu masih sama?” entah bagaimana kata-kata itu yang pertama kali keluar dari mulutku setelah tujuh tahun kami tidak bertemu. Gadis Kecil hanya tersenyum dan mengangguk.
            “Kebetulan Papa di pindahin lagi ke sini, jadi aku sama Mama pindah lagi deh,” jelas Gadis Kecil. Gadis kecil menceritakan minggu pertamanya di sini. Dengan sangat tertarik aku mendengarkannya dengan setia. Dan tanpa terasa, kami sudah tiba di depan rumahnya. Gadis Kecil menawarkanku untuk mampir, tapi dengan terpaksa aku menolaknya.
            “Sampai ketemu besok di sekolah ya Kak!” senyumnya benar-benar membuatku terbang.

***

            Aku benar-benar tidak percaya jika hari ini tiba. Hari dimana aku bisa bertemu lagi dengan Gadis Kecil. Dia bukan lagi Gadis Kecil melainkan Gadis Manis.
            Aku berbaring diatas tempat tidurku, menatap langit-langit kamarku. Tepat disampingku, boneka beruang pemberian Gadis Kecil juga berbaring menatap langit-langit kamarku. Hati ini benar-benar merasakan apa itu cinta, sepertinya.
            Ah! Aku tak peduli dengan apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Yang ku tahu aku hanya bahagia dan sangat senang sampai ingin rasanya terbang memetik bintang atau hanya sekedar berseluncur dari puncak pelangi menuju bumi.
            Hahahahahah…
            Aneh-aneh saja aku ini! Yang jelas aku benar-benar bersyukur dan senang.

***

            Sama seperti tujuh tahun yang lalu, hampir setiap sore aku bermain bersama Gadis Kecil. Namun bedanya sekarang, kami banyak menghabiskan waktu bersama di taman komplek dibandingkan bermain di dalam rumah.
            Namun kali ini ada teman-teman yang ku lupakan. Nara dan Willy.

***

            “Ru, akhir-akhir ini elo kemana sih?” tanya Nara, suatu pagi saat aku tiba di sekolah. “Jarang kumpul bareng lagi sama kita,”
            “Ada, cuman…”
            “Cuman apa?”
            “Willy mana?”
            “Belum dateng. Elo jangan mengalihkan pembicaraan kenapa sih?!”
            “Ya, gue mau cerita kalau ada Willy, biar gak cerita dua kali,”
            “Nah tuh Willy!”
            “Ceria amat! Kenapa?”
            “Cerita Wil!”

            Willy menceritakan kenapa ia begitu ceria hari itu. Dari cerita yang ku dengar, Willy menyukai anak kelas satu tapi ia tidak mau memberi tau siapa gadis itu. Nara, seakan melupakan pertanyaannya tadi. Yah, aku tak jadi menceritakan Gadis kecilku.

***

            Kami duduk di meja biasa di kantin. Aku melihat gadis kecil duduk bersama teman-temannya tak jauh dari tempat dudukku.
            “Yang itu,” kata Willy, mengisyaratkan salah satu gadis diantara Gadis Kecil dan teman-temannya. “Yang namanya Cinta,”
            Willy menyukai Cinta!?

***

            Sore harinya, aku duduk di lantai kamarku. Memetik gitar sembarangan tanpa nada. Cinta. Willy. Siapa Cinta!? Apa mungkin Cinta itu Gadis Kecil!? Bodohnya aku! Sampai detik ini aku lupa menanyakan siapa nama Gadis Kecil!
            Kalau benar Cinta itu Gadis Kecil, apa yang harus ku lakukan!? Willy temanku. Siapa yang harus ku pilih!? Apa yang harus ku lakukan!?

***

            Malam harinya, entah kenapa aku duduk sendirian di taman komplek yang sepi. Ku hela nafas panjang. Rumit. Bimbang. Semuanya bercampur aduk menjadi satu. Entah apa yang harus ku lakukan. Entah mana yang harus ku pilih. Entah apa yang ku mau. Entah apa yang ku pikirkan.
            Arrrgggghhhhh……!!!!!!!!!
            Ingin rasanya berteriak sekuatnya, melepaskan beban dihati. Ingin rasanya berlari sejauhnya, meninggalkan pilihan sulit yang ada. Ingin rasanya lupa ingatan, melupakan semua yang membuat hati menjadi sesak.
            Tapi aku hanya bisa diam menatap bintang di langit, meski sedikit yang menemaniku malam ini. Sepi. Benar-benar sepi. Bahkan jangkrik pun enggan menghibur. Ingin marah, tapi harus marah pada siapa!? Ingin mencaci tapi harus mencaci siapa!? Ingin menangis tapi menangis karena apa!?
            Oh….
            Kenapa semua ini begitu rumit! Apa yang namanya cinta serumit ini!?

***

            Beberapa hari ini aku menjauhi Gadis Kecil juga Willy. Dengan alasan yang tidak masuk akal dan juga tidak aku mengerti. Aku sendiri bertanya pada diriku, kenapa aku harus menjauhi mereka!? Toh belum tentu Cinta yang Willy maksud adalah Gadis Kecil. Tapi kenapa aku tetap ingin menjauhi keduanya!?

***

            Siang itu aku benar-benar sudah tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku bingung. Banyak pemikiran-pemikiran rumit yang aku sendiri tidak tahu harus bagaimana.
            Aku berjalan dalam diam, siang itu.
            “Kakak!” tegur Gadis Kecil, yang entah sejak kapan berjalan disampingku. “Sore ini, main ke rumah ya! Harus!”
            Belum sempat aku menolaknya, Gadis Kecil sudah naik kedalam mobil yang menunggunya. Aku hanya bisa menghela nafas panjang.

***

            Sore itu, aku dengan berat hati datang ke rumah Gadis Kecil. Wanita Cantik tetap terlihat cantik meski sudah berumur dan tetap ramah meski sudah lama tidak bertemu dengan ku.
            Aku duduk diruang tamu dengan gelisah. Ingin cepat pulang tapi juga ingin tinggal lebih lama. Masih banyak pertimbangan-pertimbangan konyol yang seharusnya tidak ku pikirkan tapi tetap menjadi bahan pikiranku dan itu sangat mengganggu.

***

            Setelah menunggu lebih dari tigapuluh menit, Wanita Cantik mengajakku ke ruang makan keluarganya. Di tengah-tengah meja makan terdapat sebuah cake strawberry besar dengan lilin berbentuk angka satu dan enam. Sementara Gadis Kecil duduk sebuah kursi tepat dihadapanku. Hari ini ulang tahunnya tapi aku memberinya hadiah bahkan tidak tahu.
            Banyak hal yang seharusnya tidak ku pikirkan tapi aku pikirkan hingga membuat hidupku kacau bahkan berantakan. Hari ini aku benar-benar dibuat sadar untuk lebih memikirkan apa yang harus ku pikirkan bukan apa yang menjadi ketakutanku.

***

            Sejak hari itu aku lebih nyaman dan santai lagi menjalani hari-hariku. Tak peduli lagi siapa Cinta yang dimaksud Willy, juga tak peduli lagi apa Cinta itu Gadis Kecilku atau bukan. Selama aku masih bisa melihat senyum manis Gadis Kecil, aku tak perlu khawatir.

***

            Hari ini, aku sengaja pulang lebih cepat untuk membeli kado ulang tahun yang terlupakan. Aku membeli sebuah boneka beruang berwarna pink dan bunga mawar merah. Berharap Gadis Kecil menyukainya.
            Tanpa buang waktu, setelah membelinya aku pergi ke rumah Gadis Kecil. Setibanya disana, Wanita Cantik menyambutku dengan wajahnya yang lega. Seakan benar-benar berharap aku datang.

***

            Gadis Kecilku ternyata sedang sakit dan aku baru tahu. Sakit leukemia. Hati ku benar-benar seperti dihujam pedang. Sakit. Selama ini aku hanya peduli dan mengkhawatirkan diriku sendiri. Takut akan kehilangannya lagi hingga menjauhinya tanpa pernah tahu bahwa ia membutuhkanku. Saat aku tahu semuanya terlambat, hanya untuk mengucap kata maaf pun sepertinya percumah.

            Senyum terakhir yang ia berikan benar-benar menjadi senyumnya yang terakhir. Selama aku menjauhinya aku tak pernah tahu kalau aku benar-benar menyakitinya yang sudah sakit. Apa pria sepertiku pantas untuknya!? Melihat senyumnya hanya menambah rasa sesal dalam hati.
            “Makasih ya Kak, untuk hadiah ulang tahunnya. Cinta suka banget!”

***

            Tak ada lagi senyum yang menenangkan jiwa. Semua ketakutanku terjawab. Gadis Kecilku pergi. Willy dan Nara pun hingga hari ini tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Meski Cinta yang dimaksud Willy bukan Gadis Kecilku, aku tetap merasa bersalah. Menjauhi mereka yang aku sayangi dengan alasan yang tidak logis dan karena keegoisan semata.

***

            Namanya Cinta. Gadis Kecilku yang tak kan pernah lagi memberiku senyum manisnya. Namanya Cinta. Gadis Kecilku yang tak kan pernah lagi bermain denganku. Namanya Cinta. Gadis Kecilku yang akan selalu hidup dalam hatiku selamanya.

The End

No comments:

Post a Comment