Monday, July 16, 2012

Teman Kecil

Ini satu cerpen lagi yang sebenernya udah "dibeli" untuk tugas temen,,
heheheh...
tapi rasanya ga apa kalau di post disini ^^a
heheheh...
well, happy reading blogger ^^

Teman Kecil

Setiap orang pasti memiliki teman kecil, begitu juga denganku. Aku hanya gadis kecil yang lugu saat itu. Gadis kecil yang belum mengerti arti cinta. Gadis kecil yang selalu berlibur dirumah neneknya saat libur sekolah. Gadis kecil yang malu bermain dengan orang baru. Namun ia berbeda. Choky, teman kecilku.
Choky, seorang anak laki-laki yang biasa bermain bersama teman-temannya didepan rumah nenek. Seorang anak laki-laki yang nakal namun lucu. Seorang anak laki-laki yang pemberani. Meski nakal, aku tahu ia baik dan aku menyukainya.

***

“Nenek!” teriakku saat turun dari mobil dan berlari kearah Nenek dan Kakek yang sudah menunggu sejak tadi. “Nenek, Karin kangen!”
Nenek hanya tersenyum, memeluk dan membelai pelan rambutku. Kakek membantu Ayah membawa tasku masuk kedalam rumah, sementara Ibu dan Nenek asik mengobrol sambil berjalan kedalam rumah.
Aku baru saja ingin melangkahkan kakiku masuk kedalam rumah saat sebuah bola mengelinding pelan kearahku. Sedikit terkejut, tapi ku pungut bola itu dan melihat kesegala arah untuk menemukan si pemiliknya. Namun yang kudapati hanya seorang anak laki-laki kecil dengan muka penuh debu yang mengintip kecil dibalik mobil Ayah.
Ku coba untuk tersenyum manis namun sebelum aku bertanya apa ia mencari bolanya, ia menyembunyikan wajahnya dibalik mobil Ayah. Membuatku sedikit bingung. Nenek memanggil dari dalam rumah. Anak laki-laki kecil itu pun mengintip lagi. Aku hanya tersenyum dan menggelindingkan pelan bola yang ku pungut tadi ke arahnya, lalu berlari memasuki rumah. Dari dalam rumah, aku mengintip melalui jendela, anak laki-laki kecil itu memungut bolanya dan berlari menjauh.
“Nenek, siapa anak itu?” tanyaku saat mengetahui Nenek berdiri dibelakangku. “Dia aneh! Masa pas aku senyumin, dia malah ngumpet,”
“Nanti juga kamu kenal sama dia,” jawab Nenek, lembut. “Dia sering membantu Kakek memetik rambutan di kebun belakang. Dia anak yang baik kok. Kamu jangan takut berteman sama dia, ya. Sekarang kita makan dulu yuk!”

***

Aku duduk sendirian sore itu. Bosan. Tak ada yang menarik! Aku hanya duduk di teras rumah Nenek sambil melihat anak-anak yang lain berlari kesana-kemari dengan cerianya, bermain bersama teman-temannya yang lain. Aku juga ingin ikut bermain! Tapi tak ada satu pun yang ku kenal.
Nenek duduk disampingku dengan membawa sepiring pisang goreng dan dua cangkir es teh. Nenek benar-benar tahu kesukaanku. Belum ada lima menit Nenek duduk bersamaku, pisang goreng nyaris habis ku makan.
“Kenapa gak ikut main?” tanya Nenek saat melihat wajah sedihku. “Kan bosen kalau cuman duduk dan melihat,”
“Habis gak ada yang aku kenal Nek!”
“Kalau begitu, kenalan dengan mereka,”
“Ah Nenek! Aku kan malu!”
“Karin, mereka anak yang baik kok. Jangan malu untuk memulai silahturahmi,”
“Tapi…”
Sebuah bola mendarat cantik tepat dipangkuanku. Nenek tersenyum.
“Nah, Tuhan sudah memberi jalan untukmu memulai silahturahim, sekarang tinggal kamu yang tentukan,”
Aku diam dalam bingung, apa maksud Nenek?
Anak laki-laki kemarin berlari kearah pintu pagar rumah Nenek dan membuka pintunya.
“Permisi, Nenek Indah!” sapa sopan anak laki-laki kecil itu, berdiri manis didepan pintu pagar. “Apa Nenek lihat bolaku?”
“Iya,” jawab Nenek singkat. “Ayo Choky, masuk. Ambil sendiri,”
Anak laki-laki itu melepas sandalnya yang penuh dengan debu dan menggesekkan kakinya diatas lap yang ada dihadapannya. Sesaat ia mencari-cari keberadaan bolanya, sampai akhirnya ia menatapku. Aku tersenyum ramah. Bukannya balas tersenyum, ia malah tersipu malu.
“Choky, apa bola ini yang kamu cari?” tanya Nenek, menujuk kearah bola yang masih ada dipangkuanku.
“Iya, Nek,” jawab anak laki-laki itu bersemangat. “Boleh saya ambil Nek? Pertandingannya sedang seru-serunya Nek!”
Nenek tersenyum dan mengangguk. “Karin, berikan bolanya pada Choky,” Nenek menoleh kearahku dan tersenyum. Aku pun tersenyum dan berdiri dari dudukku untuk memberikan bola itu pada pemiliknya.
“Ini bolanya,” kataku menyerahkan bola milik anak laki-laki itu untuk kedua kalinya sambil tersenyum.
“Terimakasih,” kata anak laki-laki itu saat menerima bolanya. “Kamu bukannya anak perempuan yang waktu itu ya!?”
“Eh!?”
“Iya! Yang waktu itu juga ngebalikin bola ini ke aku,”
“Oh, iya. Aku Karin, cucu Nenek Indah,”
“Maaf ya, tanganku kotor! Aku Choky, rumahku tiga rumah dari sini. Mau main sama-sama?”

***

“Choky! Tunggu aku dong!” pintaku, suatu pagi, saat aku, Choky dan anak-anak di komplek Nenek lari pagi bersama. “Choky!”
“Aduh, Karin! Kita udah ketinggalan sama yang lain nih!” sesal Choky. “Ayo cepat sedikit! Atau kamu aku tinggal!”
“Choky jahat!” kesalku. “Kakiku kan sakit! Mana bisa lari kencang!”
“Kenapa gak bilang kalau kakinya sakit!? Ya udah, kita pelan-pelan aja,”

Tak lama, aku dan Choky duduk di pinggir trotoar di sebuah pasar pagi. Aku menunggu Choky yang entah pergi kemana. Kakiku terasa sedikit perih.
“Ini!” kata Choky, memberi ku sebotol air minum. “Kakinya masih sakit?”
Aku mangangguk. “Iya, masih. Oh iya! Makasih ya minumannya,”
“Kok bisa sih sampe berdarah gitu!?”
“Iya, tadi pas lari jatoh,”
“Masih bisa lari?”
“Enggak. Sakit banget!”
“Lukanya di balut pake handuk dulu ya, nanti pas sampe rumah baru diobatin,”

Choky mengikatkan handuk kecilnya dilututku yang berdarah. Kakek dan Nenek benar. Choky, anak yang baik.
“Nah selesai!” kata Choky, setelah mengikatkan handuknya pada kakiku. “Udah gak sakit-sakit amat kan!?”
“Iya, udah mendingan. Choky baik ya!” kataku, tersenyum. “Makasih ya!”
Wajah Choky memerah. Ia tersipu malu.
“Muka Choky jadi merah!” ledekku. “Malu ya!?”
“Siapa bilang!”
“Itu buktinya mukanya jadi makin merah! Choky malu tuh!”
“Enggak!”
“Terus kenapa doang!?”
“Ini… ini…”
“Malu! Ngaku aja deh!”
“Enggak! Ini… ini karena kecapean dari tadi lari,”
“Hihihihih… Choky lucu ya!”
“……”
Wajah Choky semakin memerah. Malu dan senang, mungkin itu yang ia rasakan, aku harap.

***

Sejak hari itu, aku sering bermain bersama Choky. Aku juga jadi menemani Kakek dan Choky saat memetik buah rambutan di kebun belakang. Banyak tawa dan canda selama liburan kali ini. Tanpa terasa seminggu sudah berlalu dan aku harus kembali pulang juga berpisah dengan Choky. Entah kenapa berat rasanya meninggalkan rumah Nenek, mungkin karena Choky.

“Hari ini kamu pulang ya!?” tanya Choky, saat berkunjung ke rumah Nenek. “Mudah-mudahan liburanmu disini menyenangkan,”
“Iya! Aku seneng banget!” kataku dengan senyum menghiasi wajahku. “Kamu jangan lupa sama aku ya! Liburan besok aku main lagi kesini,”
“Mana mungkin lupa! Janji ya untuk main lagi!”
“Iya, janji! Nanti aku bilang sama Ayah,”
“Oh iya! Ini untuk kamu tapi dibukanya nanti aja, jangan dibuka disini,”
“Iya, makasih ya! Tapi aku gak punya apa-apa untuk kamu,”
“Enggak apa-apa kok!”

“Karin, yuk pulang!” ajak Ibu, “Oh ini ya yang namanya Choky!? Terimakasih ya, udah mau temenin Karin selama disini,”
Choky tersenyum sopan. “Iya, sama-sama tante,”

Aku mengintip dari dalam jendela mobil, mengeluarkan kepalaku untuk melihat Choky, Kakek dan Nenek yang berdiri dibelakang mobil. Sedih rasanya pisah dengan Choky. Choky tersenyum sambil melambaikan tangannya. Aku pun melambaikan tanganku. Mobil perlahan meninggalkan rumah Nenek. Choky berlari mengejar mobil dan berteriak, memintaku berjanji untuk kembali lagi liburan mendatang dan aku berjanji.

***

Didalam mobil, aku membuka hadiah kecil pemberian Choky. Sebuah kalung berliontinkan bunga berwarna pink. Lucu sekali. Aku menyukainya. Tanpa buang waktu aku memakainya. Manis sekali. Ibu dan Ayah pun menyukainya. Aku berjanji, liburan selanjutnya aku harus memberi Choky sebuah hadiah juga. Jadi tak sebar menunggu libur selanjutnya. Ku harap liburan selanjutnya cepat datang.

***

Saat liburan tiba, aku jatuh sakit dan Ibu melarangku untuk berlibur ke rumah Nenek. Sedih sekali. Padahal sudah lama aku menunggu datangnya liburan ini. Aku ingin bertemu dan bermain lagi bersama Choky. Ayah berjanji akan membawaku berlibur ke rumah Nenek jika aku cepat sembuh, tapi sampai masuk sekolah aku belum juga sembuh. Dan akhirnya aku batal berlibur di rumah Nenek, bertemu dan bermain bersama Choky. Aku harus menunggu empat bulan lagi untuk bisa bertemu dengan Choky. Aku benar-benar kangen sama Choky.

***

Sudah tiga kali liburan aku tidak berlibur ke rumah Nenek. Dan selama itu pun aku tidak bertemu dengan Choky. Aku sama sekali tidak melupakannya. Hanya saja banyak hal yang menyebabkan aku tidak bisa berlibur di rumah Nenek dan bertemu juga bermain dengan Choky.
Saat aku berlibur di rumah Nenek, hal pertama yang ingin ku lakukan hanya meminta maaf pada Choky karena tidak bisa menepati janji ku. Tapi itu semua percumah. Choky dan keluarganya sudah pindah, entah kemana. Aku benar-benar sedih dan kecewa.
Padahal aku sudah menunggu liburan ini. Aku juga sudah membelikan Choky sebuah bola basket sebagai hadiah, karena dulu Choky pernah bercerita kalau ia ingin sekali bola basket. Tapi semuanya sia-sia.

***

Hingga aku SMA aku masih ingat Choky dan mengenakan kalungnya. Berharap suatu saat nanti kami bisa bertemu lagi. Entah bagaimana tampang Choky sekarang. Choky yang berusia sekitar tujuhbelas tahun. Aku benar-benar ingin minta maaf dan bertemu dengannya. Juga untuk memberikannya hadiah yang dulu ku beli khusus untuknya.
Setiap malam aku meminta pada Tuhan, agar mengijinkan ku untuk bertemu dengan Choky, satu kali lagi. Walau hanya sebentar. Aku hanya ingin minta maaf dan memberikannya hadiah. Hanya itu.

***

Sepuluh tahun sudah berlalu sejak aku pertama dan terakhir kalinya bertemu dengan Choky, anak laki-laki kecil tetangga Nenek. Sekarang aku sudah duduk dibangku SMA. Bukan lagi Karin, gadis kecil berusia tujuh tahun yang polos dan cengeng. aku sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang ceria dan bersemangat.
Namun aku tetap ingat pada Choky dan tetap memakai kalung pemberiannya. Ini bentuk dari penyesalanku karena tidak dapat menepati janjiku padanya. Bola basket yang dulu ku beli untuknya pun, kini menjadi temanku. Teman setia dan sedikit obat rinduku pada Choky. Choky, aku benar-benar ingin bertemu dan minta maaf.

***

“Ohaiyou!” sapa teman sekelasku, Tari. Pagi ini pelajaran Bahasa Jepang, jadi kami diwajibkan mengaplikasikan sedikit ilmu Bahasa Jepang yang sudah kami pelajari.
“Ohaiyou!” senyumku. Aku menaruh tasku di atas mejaku, mengeluarkan buku-buku pelajaran Bahasa Jepang.
“Karin… Karin… tahu gak?” tanya Tari yang juga teman sebangkuku. “Katanya ada murid pindahan dari Jogja,”
“Masa!?”
“Iya! Serius!”
“Tahu dari siapa?”
“Biasa itu si tukang gosip, Mala,”
“Bukannya elo juga Miss. Gossip ya!?”
“Ih… tega banget sih, temen sendiri dibilang bigos!”
“Cuman bercanda kok Tari sayang! Lagian pagi-pagi udah ngerumpi aja!”
“Kan cuman ngasih tahu aja!”

***

Dan Tari benar. Kelas kami kedatangan murid pindahan dari Jogja. Dan yang buat satu kelas geger, murid pindahan ini cowok dan ganteng. Namanya Novanto Choky Putra. Bagiku Choky tidak begitu keren, biasa aja. Tapi tidak dengan sebagian besar teman-teman cewek dikelasku. Mereka semua menatap Nova seperti singa yang kelaparan menatap kelinci mungil yang akan jadi makan siangnya.
Entah apa kerennya Nova hingga bisa menyihir cewek satu kelas bahkan cewek satu sekolah jadi tergila-gila padanya. Ku akui ia memang jago main bola dan basket, so what!? Banyak kok cowok-cowok disekolahku yang juga jago main bola dan basket bahkan lebih hebat dari Nova tapi kenapa cuman Nova yang di puja-puja seperti dewa!? Menurutku ini gak adil dan ada sesuatu yang gak beres. Bisa aja Nova nyogok semua cewek yang ada disini untuk jadi fansnya, tapi untuk apa!? Oh! Atau bisa juga cewek-cewek disini yang matanya buta!

***

“Elo tuh yang buta!” protes Tari, saat aku bilang Nova cowok yang biasa aja. “Buka dong mata elo Rin! Cowok seganteng itu elo bilang biasa aja!? Selera elo rendah amat sih!”
“Enak aja!” kesalku. “Wajar dong gue bilang biasa aja! Diliat dari sisi mana kerennya coba? Tukang tidur dikelas gitu elo bangga-banggain!”
“Walau pun dia tukang tidur tapi kalau di tanya dia ngerti dan bisa jawab kok! Trus juga dia….”
“Apa!? Jago basket!? Jago sepak bola!? Basi!”
“Maksudnya!?”
“Udah banyak cowok yang jago sepak bola juga jago basket! Buktinya Kak Hiro, anak IPS dia jago main futsal, kapten tim basket juga sering bawa kelasnya menang sepak bola pas classmeeting,”
“Tapi yang ini tuh beda Rin!”
“Beda dari mananya? Mereka sama-sama cowok kok! Juga sama-sama sekolah disekolah kita,”
“Ah! Tau ah! Debat sama elo mah sama aja debat sama calon presiden!”
“Idih ngambek!”
“Karin ya!?” tanya Nova yang entah sejak kapan berdiri di depan meja kantin yang aku dan Tari duduki. “Di panggil sama wali kelas,”
“Eh!?” aku sedikit bingung. Aku bukan ketua kelas, sekertaris, atau pun bendahara kelas tapi kenapa Bu Tika memanggilku?! “Yakin Gue?! Tari, temenin gue yuk! Tari!”
Jujur ya! tampang Tari ENGGAK BANGET!!!!
“Enggak ah, gue disini aja!” jawab Tari yang mungkin sedikit gak sadarkan diri. Sumpah! Tari aneh banget!

***

Ku pikir aku di panggil karena nilai-nilaiku turun tapi ternyata hanya untuk membagikan buku tugas yang sudah selesai dinilai. Ini kan tugas ketua kelas, kenapa jadi aku yang mengerjakannya!? Huh…!!!

***

Kalau di pikir-pikir Nova itu mengingatkanku pada Choky, teman kecilku. Entah kenapa setiap melihat Nova aku jadi ingat dan semakin rindu pada Choky. Tapi mana mungkin Nova itu Choky! Choky itu baik, sopan, ramah, pokoknya sifatnya semuanya baik deh! Tapi kalau Nova!? Ihk… jauh banget sama Choky! Nova itu ketus, jutek (super), belagu, sok cool, pokoknya sifatnya gak ada yang bagus deh!
Bayangin aja! Ditanya baik-baik dia jawabnya nyolot, kan nyebelin! Tapi kata Tari itu yang buat Nova disukain banyak cewek. Halo!!! Disini aku yang bodoh atau mereka!? Dimana-mana cewek bukannya suka ya cowok baik-baik!?
“Cowok baik-baik itu cupu, Rin!” jelas Tari, saat aku dan Tari berjalan menyusuri koridor sekolah saat pulang sekolah. “Gak ada gregetnya kalau dideketin,”
“Terserah deh! Lagi males adu argumen!” aku benar-benar malas beradu argument dengan Tari kali ini. Jadi ya suka-suka hantinya lah mau bilang apa tentang si New Super Star itu.
Langkahku sedikit tertahan saat melihat Angga, si Kutu Buku (kata anak-anak yang lain, tapi kalau menurutku dia si Jenius) dijahili “Yakuza” (istilah untuk mafia Jepang tapi kalau yang ini sedikit opst salah bukan sedikit tapi NORAK BANGET!!!). Sesaat Tari mencegahku untuk menolong Angga, tapi aku gak peduli! Angga, anak baik dan dia gak pantas dijahili!
Tinggal dua atau tiga langkah dari tempat Angga, tapi aku sudah keduluan. Bukan diduluin orang tapi bola basket. Sebuah bola basket dilempar entah oleh siapa, dari lapangan dengan sangat kencang hingga menimbulkan bunyi yang sangat keras saat membentur tembok dan membuat orang-orang yang ada disitu sedikit (mungin bukan sedikit tapi benar-benar) terkejut.
Nova berlari dari tengah lapangan kearah Angga dan memungut bola basket yang mengelinding santai.
“Hati-hati dong!” pinta salah satu dari “Yakuza” dengan sangat kasar. “Kalau kena kepala orang kan bahaya!”
“Maaf ya!” kata Nova tanpa ada rasa penyesalan sedikit pun. “Tapi gue mungkin gak akan pernah sengaja lempar ini bola ke kepala elo kalau masih sok jagoan disini!”
“Maksudnya apa!?” tantang anggota “Yakuza” yang lain.
“Orang sebodoh apa pun yang punya otak manusia dan bukan otak anjing pasti ngerti maksud gue!” dengan penekanan dikata otak manusia dan otak anjing.
“Elo nyari rebut!?”
“Kalian yang mulai kan!? Dan buat gue cuman pengecut doang yang berani main kroyokan! Gue gak pernah takut sama kalian! Mau jumlah kalian lebih banyak pun gue gak takut! Karena gue bukan pengecut macam kalian!”
Aku benar-benar speechless. “Yakuza” itu meninggalkan Angga dan Nova sambil mengancam Nova. Namun Nova menganggapnya sebagai angin lalu dan terus membantu mengumpulkan buku-buku Angga yang dijatuhkan dan diinjak-injak oleh “Yakuza Norak” tadi. Ku beranikan diri untuk mendekat dan membantu.
“Ga, gak apa-apa kan!?” tanyaku, membantu Nova dan Angga. “Nova, makasih ya udah nolongin sepupu gue,”
Nova sedikit terkejut dan sesegera mungkin ia memberikan buku-buku Angga yang sudah ia kumpulkan, lalu pergi menjauh membawa bola basketnya. Aku masih membantu Angga namun dalam hati aku sangat kesal. Baru aku ingin merubah pendapatku tentangnya eh aku malah di buat semakin kesal oleh Nova!

***

Karena arah pulang aku dengan Tari berbeda dan karena Angga diantar jemput oleh supir, aku jadi jalan sendiri sampai ke halte bus. Langkahku terhenti saat melihat Nova duduk sendirian di halte bus. Kesal mulai merajaiku. Tapi halte bus kan tempat umum jadi siapa saja boleh menunggu dan duduk disana.
Aku mengambil jarak yang agak jauh dari Nova dan duduk menunggu bus yang akan membawaku pulang.
“Ah…! Enggak nyangka ada orang yang super sombong!” celetuk Nova, apa dia nyindir aku!? “Entah sombong atau pura-pura gak kenal!? Gak tau!”
“Hey!” aku benar-benar kesal dan kali ini udah gak ada alasan untuk diam. “Elo nyindir gue?”
Nova menoleh ke kanan dan kirinya, mencoba mencari sumber suara yang memang berasal dariku yang berada tepat dikanannya.
“Hm… sebentar, elo ngerasa!?”
“Iya siapa lagi!? Di sini cuman ada elo sama gue!”
“Oh…”
“Oh!? Cuman oh!? Apa maksud elo nyindir gue!?”
“Elo keGRan mungkin,”
“Gimana bisa gue cuman keGRan!? Yang ada disini cuman elo sama gue doang! Gak ada siapa-siapa lagi! Jangan karena elo udah nolong sepupu gue, penilaian gue ke elo berubah ya! Gak akan! Elo tuh cuman cowok sok yang sering tebar pesona kemana-mana!”
Nova bangkit dari duduknya dan berjalan pelan kearahku. Entak kenapa pelan-pelan aku mundur. Jarak antara kami tak lebih dari satu meter (bahkan kurang).
“Jadi elo bener-bener gak inget!?”
“Gue inget! Elo anak pindahan yang sok! Iya kan!?”
“Elo lupa Rin! Gue kira elo pasti inget, tapi ternyata gue cuman berharap lebih,”
“Maksud elo apa sih?”
“Enggak ada maksud apa-apa kok! Tapi, kalung elo bagus Rin!”
“Kalung!? Gue gak pake kal…”
Nova berjalan pelan meninggalkan aku di halte bus sendiri. Kalung!? Aku gak pake kalung. Choky!? Kalung Choky! Kalung Choky yang ku jadikan gelang karena kekecilan. Jadi Nova…
“Choky!” panggilku, sedikit berlari mengejar Choky atau yang ku kenal sekarang dengan nama Nova. “Choky, Maaf!”
Choky berhenti berjalan tapi ia tidak membalikan badannya. Ia tetap memunggungiku.
“Gomenasai!” kataku dengan air mata yang menemani. Entah karena senang bisa bertemu lagi dengan Choky atau karena sedih Choky bersikap seperti ini. “Maaf untuk semuanya! Maaf gak nepatin janji. Bukan karena gue lupa tapi karena gue emang gak bisa dateng, gue sakit! Maaf juga gak ngenalin elo! Itu karena gue gak tau nama lengkap elo dan elo juga bukan Choky sepuluh tahun yang lalu! Gomenasai!!!”
Aku menunduk, mencoba untuk menyembunyikan air mata yang terus turun. Aku benar-benar menyesal. Dalam hati aku terus berdoa agar Choky mau memaafkanku. Aku melihat sepasang sepatu yang lain. Ku angkat kepalaku dan mendapati Choky berdiri dihadapanku.
“Gue maafin,” katanya memberiku sapu tangan berwarna putih dengan motif bunga pink persis dengan bunga yang menjadi liontin kalungku. “Mana mungkin gue gak maafin cewek yang gue sayang!?”
Akhirnya aku bisa melihat lagi senyum itu. Senyum, tawa dan canda anak laki-laki yang sepuluh tahun lalu selalu menemaniku selama seminggu penuh. Yang ku harap kini, semoga aku tak kan kehilangannya lagi dan akan selamanya bagini.

The End

Jangan Bilang "Ga Mungkin" atau "Bukan Tipe Gw!"

banyak banget kejadian disekitar gw dan termasuk gw sendiri mengalaminya, bukan 1 atau 2 kali tapi setiap gw bilang "ah gw ga akan suka" atau "ga mungkin gw suka" atau "bukan tipe gw!" tapi berakhir dengan "kemakan omongan sendiri" atau "ngejilat ludah sendiri"
wew...
kesannya ga punya pendirian ya!?
tapi hati siapa yang tau???
kita bukan Tuhan yang bisa menentukan apa yang diinginkan hati,,
well, mungkin ada beberapa dari kita berpendapat seperti ini "hati bisa kok kita kendalikan keinginannya yang penting ketegasan dari kitanya aja" atau ada yang bilang seperti ini "lho itu kan pilihan, kita bisa kok utuk pilih ga dan tetap ga,"
mungkin kata-kata diatas terkesan sombong atau menyombongkan diri atas apa yang belum dan akan terjadi sama kehidupan kita.
gw mengalami sendiri smuanya!
hati emang kita yang punya tapi tetap Tuhan yang atur *ini menurut gw, kalian boleh setuju atau pun ga*
contohnya, kalau ada seseorang yang bukan tipe kita untuk dijadikan pasangan atau pacar namun kita dekat dalam pertemanan tidak menutup kemungkinan adanya jalinan yang lebih dari sekedar pertemanan.
logika mungkin bisa mengatakan "TIDAK" tapi hati!?
perasaan...
kita bicara perasaan yang sampai detik ini gw pun bingung gimana cara kerjanya X(
disaat hati merasa nyaman, senang dan bahagia apa masih akan mengatakan "TIDAK" untuk hal-hal yang pada awalnya tidak kita sukai???
seorang dosen dikelas pernah mengatakan *kurang-lebih* seperti ini "Jangan pernah kalian mengatakan TIDAK untuk hal-hal yang belum pernah kalian coba."
bukan menyarankan kalian utuk merasakan sakit atau kecewa *dalam hal memilih pasangan* tapi bisa diambil segi positifnya, kalian kecewa tapi disisi lain kalian juga mengetahui apa yang orang lain tidak alami...
kalian berani mengambil resiko meski hanya bermodalkan hati yang tulus dan ini *lagi-lagi menurut gw* berlaku untuk semua hal,, percintaan, pekerjaan, keluarga, sosialisasi atau apa pun, kalau hati sudah tulus dan nyaman apa pun akan terasanya menyenangkan...
masih mau mengatakan hati kita yang tentukan!?
mmmm...
gw sendiri masih bingung.
knp!?
karna ada beberapa hal yang hati lakukan tidak masuk akal...
ya pada intinya jangan sombong atau takabur jika belum pernah mengalaminya sendiri...
mungkin akibat dari perkataan yang sombong itu Tuhan memberikan jalan lain ^^a
heheheh...
just sharing aja,, silahkan kalau setuju kalau ga juga ga apa ^^

Sunday, July 15, 2012

my new short story

hi blogger!!!
ini cerpen terbaru gw ^_^
ga baru juga sih,,
tadinya cerita ini utk lomba sebuah majalah remaja tapi sepertinya ga menang dan ga akan diedarkan atau diterbitkan,,
heheheh...
jadi curhat ^^a
well, selamat membaca...
jgn lupa tinggalkan saran dan masukan y ^_~
thx blogger ...


Secangkir Cinta Juni

Seperti biasa, Cherry Juni Neytasya atau yang sering dipanggil Juni, membantu pamannya di caffee miliknya. Juni selalu membantu pamannya setelah pulang sekolah. Juni mencatat semua pesanan dan mengantarnya. Itu adalah kegiatan rutin Juni di caffee milik pamannya. Namun ada satu kegiatan lain yang begitu istimewa baginya. Setiap harinya diwaktu yang sama ada seorang cowok yang selalu duduk dimeja yang sama dan memesan pesanan yang sama pula. Bukan hal itu yang membuatnya istimewa. Mungkin menggelikan mendegarnya tapi itu lah kenyataannya. Juni menyukai cowok itu. Cowok yang juga teman kuliah Rony, kakak sepupu Juni. Juni terlalu takut untuk berkenalan dengan cowok itu. Nama cowok itu Yudhi. Anak band kampus yang memiliki banyak fans, termasuk Juni.
Juni senang melihatnya dari jauh. Meski hatinya menginginkan lebih dari itu. Juni selalu suka berbicara dengan Yudhi, meski hanya menanyakan pesanan yang Juni sudah tau. Ia sangat menikmati saat-saatnya berdekatan dengan Yudhi.
Seperti hari-hari lainnya. Yudhi selalu datang pukul delapan malam dan selalu duduk di meja nomor tujuh yang berada dekat jendela depan caffee. Malam itu Yudhi datang bersama Rony. Setelah beberapa lama mengobrol, Rony pamit untuk membantu ayahnya didapur.Yudhi tertawa dan tersenyum ceria. Juni memandanginya dengan hati yang berbunga-bunga dan tidak menyadari Rony sudah ada dihadapannya.
“Kak Rony!” kesal Juni. “Ngagetin aja deh!”
“Hahahah… liatin apaan sih!?” tanya Rony, mengacak-acak rambut Juni. “Temen gue yang itu, pesen …”
“Hot Cappuccino dan cheescake.”
“Kok tau?”
“Ummm… itu … itu karna … karna menu itu yang sering dipesen banyak orang hari ini,”
“Oh. Ya udah bilang buatin pesenan temen gue sana.”
“Ok!”
Dengan semangat Juni membuatkan secangkir cappuccino hangat untuk Yudhi. Hatinya berdebar kencang setiap membuatkan pesanan Yudhi. Namun ia sangat menikmati saat-saat seperti itu. Juni terus tersenyum. “Jun,” panggil Tante Maya. “Ini cheescakenya jangan lupa dibawa ya.”
“Oh iya, Tant,”

Tak lama Juni berjalan menghampiri meja Yudhi dengan membawa pesanan Yudhi juga dengan hati yang berdebar kencang. Juni mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ia menarik nafas panjang, mencoba memelankan detah jantungnya. “Ayo Juni, tenang! Ini udah bisa. Tenang. Tenang,” ucap Juni pelan.
Seseorang menabrak Juni hingga nyaris terjatuh, namun Juni sigap menjaga isi nampan yang ia bawa agar tidak tumpah. Saat itu juga suasana hati Juni berubah. Kesal bukan main. “Maaf,” ucap cewek yang menabraknya tadi. Lembut dan halus sekali suaranya. Juni memaksakan senyumnya untuk mengembang dan menutupi kekesalannya. Cewek itu cantik bukan main. Ia seperti model-model yang ada dimajalah bahkan lebih cantik lagi saat ia tersenyum. Cewek cantik itu berjalan meninggalkan Juni yang masih terdiam. Seketika itu juga hatinya seakan hancur melihat cewek cantik itu duduk satu meja dengan Yudhi. Sebisa mungkin ia menutupi patah hatinya dan tetap mengantarkan pesanan Yudhi yang sudah ia bawa.
“Permisi,” sapa Juni, mencoba tersenyum ramah meski terpaksa. Yudhi dan cewek itu menghentikan pembicaraan mereka. “Ini pesanannya. Maaf sudah menunggu lama,” Juni meletakan pesanan-pesanan Yudhi diatas meja. Yudhi tidak begitu menghiraukan keberadaan Juni. Baru kali itu Juni melihat Yudhi tertawa lepas. “Selamat menikmati,” Sesegera mungkin Juni menjauh.
Dari balik meja kasir, Juni duduk sambil menopang dagunya. Sesekali ia menghembuskan nafas panjang. Semangat dan keceriaannya menurun bahkan nyaris hilang. “Lebih cantik,” gerutunya sendiri. “Bukan saingan gue,” keluhnya. Ia menatap meja kasir, nyaris menangis. “Huft… untuk apa juga sedih, dia kan gak kenal gue,”
“Siapa yang gak kenal elo?” tanya Rony yang entah sejak kapan berdiri didepannya. “Elo kenapa?”
Juni yang terkejut, membetulkan posisi duduknya dan memaksa tersenyum. Rony mengerutkan keningnya melihat tingkah laku adik sepupunya yang aneh. “Elo tiap hari udah aneh tapi sekarang lebih aneh. Jangan buat gue takut, Jun!” canda Rony, melanjutkan mengepel lantai Caffee. Juni menunjukkan wajah kesalnya. “Rese!” ucapnya kesal.
“Ehem… permisi,” ucap seseorang berdiri didepan meja kasir. Yudhi. Hati Juni seakan berhenti berdetak saat itu juga. “Maaf, dari tadi saya manggil pelayannya tapi gak ada yang datang. Bisa pesan satu hot cappuccino, satu teh hijau dan strawberry cake?”
“Iya, segera dibuat,”
“Terimakasih,”
Yudhi berjalan kembali kemeja tempat tadi ia duduk. Cewek cantik itu masih duduk disana, memakan cheescake milik Yudhi. Untuk kesekian kalinya Juni menghembuskan nafas panjangnya dan dengan langkah yang berat ia berjalan menuju dapur.

“Kenapa Jun?” tanya Tante Maya, meletakan cake-cake pesanan Yudhi didekat Juni. “Tumben gak semangat buat cappuccinonya.”
Juni menghembuskan nafas panjang. “Gak apa kok Tant,”

“Permisi,” kata Juni, sopan. “Ini pesanannya,” Juni meletakkan pesanan-pesanan Yudhi diatas meja dengan perlahan.
Cewek cantik yang dari tadi asik mengobrol bersama Yudhi, berhenti bicara dan tersenyum pada Juni. Senyum manisnya semakin membuat wajahnya terlihat cantik. Dan itu membuat Juni semakin gugup. “Velly!?” tanya Ronny, yang entah sejak kapan berdiri dibelakang Juni. Juni nyaris menjatuhkan cengkir cappuccino yang ingin ia letakkan diatas meja. Beruntung, Yudhi membantunya. “Ati-ati, Jun!” tegur Ronny.
“Kakak pikir, gara-gara siapa aku kaget!?” keluh Juni sedikit nyengir kuda. “Udah kayak setan aja, dateng tiba-tiba mulu,”
Yudhi dan cewek itu tertawa lepas mendengar kekesalan Juni. Sontak wajah Juni memerah. Malu. “Dia adik kamu, Ron?” tanya cewek itu. Suaranya lembut. Juni semakin minder melihat perbedaan yang ada antara dirinya dan cewek cantik itu. “Manis ya. Benar kata kamu, Dhi.”
Yudhi sedikit tersipu malu. Juni melongo terkejut. Apa yang terjadi sebenarnya?
“Hahahah…” tawa Ronny. “Dia ini orangnya spontan banget. Omongannya gak bisa di rem,” jelas Ronny, memegang kepala Juni. “Tapi, aku setuju sama kamu, Vel. Juni anak yang manis.”
“Bentar deh!” protes Juni, menurunkan tangan Ronny dari atas kepalanya. “Ini sebenarnya ada apaan sih, Kak? Cewek ini siapa?”
“Oh iya! Sori Jun! Lupa ngenalin elo sama Velly,” cengir Ronny. “Jun, kenalin ini pacar gue, Vellycia.”
“Panggil aja Velly,” ralat Velly dengan senyum manisnya. “Aku pacarnya Ronny,”
Juni semakin bingung.dengan apa yang terjadi. “Ihk! Kamu ngegemesin deh!” Velly mencubit pipi Juni, gemas. “Sebenernya udah lama mau kenalan sama kamu tapi selalu gak boleh sama Ronny.”
“Bukan gak boleh tapi waktunya belum tepat,” jelas Ronny. “Kamu ngapain kesini tapi gak bilang-bilang?”
“Mau bikin kejutan sekaligus bantu temen kamu ini,”
“Bantu Yudhi!?”
Velly hanya tersenyum dan mengangguk sambil sesekali melirik pada Juni. “Hmmm… Ron, kenalin aku sama orang tua kamu dong,” pinta Velly, manja. “Kan aku udah jauh-jauh kesini.”
Ronny mengangguk dan menggandeng tangan kanan Velly, meninggalkan Yudhi dan Juni. “Good luck!” bisik Velly saat berada tepat disamping Juni. Juni diam. Heran dan bingung apa maksud dari kata-kata Velly tadi.
“Hmmm… duduk Jun,” pinta Yudhi, gugup. “Ada yang mau gue omongin, kalau gak keberatan.”
Juni duduk tepat dihadapan Yudhi. Tanpa banyak bicara Yudhi mengeluarkan sebuah box besar berwarna coklat muda seperti warna cappuccino dicangkirnya. Juni semakin bingung. “Ini hadiah untuk elo,” jelas Yudhi. “Sebenernya sejak pertama kali minum cappuccino disini gue udah jatuh hati sama yang buat. Gue tanya Ronny, ternyata yang lebih sering buat cappuccino disini itu elo.”
“Gak kok! Masih enakkan buatan Paman Leo. Aku …”
“Dan karna cappuccino buatan elo, gue jadi sering dateng kesini. Awalnya cuman untuk minum cappuccino tapi setelah tau elo yang buat tujuan gue jadi berubah.”
“Berubah!?”
“Iya.”
“Maksudnya?”
“Sekarang tujuan gue sering dateng kesini untuk kenal elo lebih dekat tapi bodohnya gue, gue terlalu pengecut untuk memulainya.”
“……”
“Sekarang setelah kenal elo, tujuan gue berubah lagi. Tujuan gue sekarang untuk miliki hati elo Jun.”

THE END