Tuesday, June 14, 2011

my little brother



My Little Brother

          “Udah deh! Gak usah ikut campur! Elo tuh masih kecil! Belom ngerti!” bentakku pada Satria yang diam terpaku. “Lain kali gak usah sok tau kalau gak tau!”
            Ku banting pintu kamar dibelakangku. Emosi dan amarah benar-benar menguasiku. Tangis pun akhirnya menemani penyesalan yang datang terlambat. Teringat wajah polos Satria yang terkejut mendengar sumpah serampah yang keluar dari mulutku, membuat penyesalan semakin mendalam. Tapi gengsi terus menguasaiku, hingga aku hanya bisa minta maaf dalam hati.

My Little Brother

            “Kak, gue punya ini!” kata Satria saat aku pulang kuliah. Ia menunjukkan komik yang sangat aku inginkan.
            “Dapet dari mana?” tanyaku nyaris histeris. “Sumpah ya! Gue udah nyari ke semua toko buku, gak dapet!”
            Satria hanya nyengir, menggaruk kepala bagian belakangnya. “Itu untuk elo Kak!” katanya, sedikit tersipu malu. “Anggap aja permintaan maaf  gue karna udah ngilangin data-data elo di komputer,”
            Aku terdiam malu. Sebisa mungkin ku tahan air mata  ini. Aku benar-benar malu sebagai kakak. Semua amarah ku lampiaskan padanya padahal aku tau kemarin bukan sepenuhnya kesalahannya.

My Little Brother

            “De, tolong Mama dong!” pinta Mama, sedikit  berteriak dari dapur. “Tolong Mama beli kecap ke warung depan,”
            Aku benar-benar malas! Tak seinchi pun aku berpindah dari depan komputer dan terus mengerjakan tugas-tugas kuliahku yang menggunung. Satria yang sedang asik menonton TV, tiba-tiba mematikan TV.
            “Aku aja Ma! Kak Dena lagi ngerjain tugas kuliahnya,”

My Little Brother

            “Kak!” panggil Satria, mengetuk pintu kamarku. “Ada Kak Trian tuh!”
            Ku buka pintu kamarku.
            “Mau pergi ya?”
            “Iya,”
            “Pulangnya bawain gue kebab ya!”
            “Sip!”

My Little Brother

            Malam itu ku habiskan bersama Trian. Banyak tawa yang seharusnya menemani, tapi kenapa aku ingin sekali pulang. Ada sesuatu yang memaksaku untuk pulang. Cemas dan khawatir yang tak beralasan. Ku paksa Trian untuk mengantarku pulang.
            Setibanya di rumah, Satria menyambutku dengan senyumnya yang menenangkan hatiku. Entah kenapa saat melihat senyumnya hatiku tak lagi cemas. Tak ada lagi perasaan yang membuatku tidak nyaman.
            “Mana pesenan gue?” tagihnya dengan wajahnya yang polos. Wajahnya terlihat begitu polos padahal ia sudah SMA. “Elo gak lupa kan sama pesenan gue?”
            “Enggak lah! Ini!”

My Little Brother

            Sisamalam itu ku habiskan bersama Trian mengobrol di depan rumah. Kini aku bisa tertawa lepas mendengar lelucon aneh Trian. Tak ada lagi khawatir yang tak beralasan. Hanya tawa dan senyum.
            “De, Satria belum pulang ya?” tanya Mama, cemas, berdiri di depan pintu. “Udah jam segini De,”
            Aku hanya menggeleng. “Mama gak usah khawatir, Satria bukan anak kecil lagi, Ma!” kataku mencoba menenangkan Mama. “Aku yakin kok kalau Satria baik-baik aja. Lagi pula baru jam 8, Ma,”
            “Tapi Mama takut De,”
            “Biar saya coba liat di tempat latihan bandnya, Tante,”
            “Makasih ya Yan! Tolong Tante!”

My Little Brother

            Trian kembali tapi tanpa Satria, membuat Mama semakin cemas dan panik. Sebisa mungkin ku coba menenangkan Mama, mencoba membuat Mama yakin kalau Satria baik-baik saja. Tapi air mata Mama jatuh perlahan, membuat cemas itu datang lagi. Sunyi menyelimuti selama beberapa saat, hingga bunyi telpon memecah keheningan.
            Cemas dan khawatir itu semakin menjadi. Papa tak banyak bicara saat meletakkan gagang telpon ke tempatnya. Mama mengharapkan kabar baik yang kami terima, namun sebaliknya. Air mata tak lagi dapat ku bendung. Tubuhku lemas seakan tak bernyawa. Trian merangkul, mencoba menguatkanku.

My Little Brother

            Ku terus coba yakinkan diriku bahwa ini semua hanya mimpi buruk. Air mata tak lagi bisa menemani dan menghapus luka kehilangan yang teramat mendalam. Ku terus menguakan Mama tapi aku sendiri tak bisa menguatkan diriku sendiri. Mama terus menangis sepanjang malam hingga saat ini, jadi wajar kalau Mama jatuh tak sadarkan diri.
            Bukan salah Mama jika tak kuat menerima kenyataan ini, aku pun masih belum percaya semua ini terjadi secepat ini. Satria tertidur lelap dihadapanku. Air mata terus membasahi pipiku. Semua ini begitu cepat. Terlalu cepat bahkan. Atau memang seperti ini!?

My Little Brother

            Jujur, aku benar-benar tidak kuat dengan semua ini. Ini begitu menyayat dan menyiksaku. Banyak yang belum ku  katakan pada adik kecilku, Satria. Banyak yang belum ia tau tentang dunia ini. Banya yang belum ia raih dan wujudkan. Banyak yang belum kami lakukan bersama. Juga banyak mimpi yang ikut terkubur bersama dengan jasadnya.
            Aku tak kuat lagi menahan sakit ini. Aku benar-benar sudah tak kuat lagi.

My Little Brother

            Banyak teman-teman sekolah Satria yang datang, mendoakannya. Aku berharap melihat sosok Satria yang memakai seragam SMAnya berdiri di sela-sela teman-temannya dan menghapus sedih ini, membangunkanku dari mimpi yang menjengkelkan ini. Tapi semakin ku cari, semakin aku berharap, semakin nyata sakit yang menusuk hati ini.
            Ku hirup udara hingga memenuhi paru-paruku, berharap sakit ini sedikit terbawa bersama udara yang ku hembuskan. Tapi tetap saja semuanya sia-sia. Tangis menjadi percuma. Yang ada hanya sakit dan rasa kehilangan yang teramat dalam.

My Little Brother

            Kini hanya tersisa kamar tak bertuan disebelah kamarku. Foto-foto kenangan yang membuat sakit hati ketika rindu datang. Aku duduk diatas tempat tidur Satria. Ku perhatikan setiap sudut kamar ini. Ku pejamkan mataku. Tangis itu kembali menemani.
            Rindu ini akan terus menemaniku. Namun aku harus kuat. Aku harus kuat agar aku bisa menguatkan Mama. Aku harus kuat agar Satria senang dalam tidur panjangnya. Aku harus kuat agar bisa melanjutkan hidupku dan meneruskan cita-cita Satria.
            Kematian pasti datang tiba-tiba dengan begitu aku bisa tegar dan kuat mengahadapinya. Satria pergi dengan caranya yang begitu tiba-tiba tapi aku yakin ini yang terbaik bagi kita semua. Bagiku, bagi Mama, juga bagi Papa.
            Kita belum benar-benar merasa jika kita sayang, cinta padanya jika belum kehilangannya. Kita belum benar-benar tau betapa pentinya dia jika belum kehilangannya. Kita juga belum benar-benar paham betapa berartinya ia dalam hidup kita jika kita belum kehilangannya.
            Sat, gue sayang sama elo. Maaf jika selama ini gue gak bisa jadi kakak yang baik. Gue bener-bener sayang elo. Tapi gue yakin elo juga gak mau liat gue terus-terusan terpuruk dan sedih. Karna itu, gue janji sama elo kalau gue akan kuat dan tegar. Elo satu-satunya adik gue yang paling baik dan paling gue sayang. Elo gak pernah marah pas gue bentak, elo malah minta maaf sama gue padahal gue yang salah.
            Banyak hal yang belum gue kasih tau ke elo dan banyak hal juga yang belum kita lakuin sama-sama. Tapi gue yakin kalau disana elo lebih bahagia. Dan elo akan lebih bahagia lagi kalau liat gue dan Mama jadi cewek yang kuat dan tegar.
            Terimakasih untuk semua yang udah elo kasih ke gue. Terimakasih udah jadi adik yang paling baik dan sempurna untuk gue. Gue senyum Sat! Gue gak sedih lagi. Gue janji.
            Gue kangen sama elo, Sat! Kangen banget!
            Satria, gue akan terus berdoa untuk elo. Gue seneng elo jadi adik gue. Gue sayang sama elo Sat! Dan karna gue sayang sama elo, gue akan tepati semua janji gue.

My Little Brother
end

2 comments:

  1. aduuuhhh ui...huhuhuuu pgn mewek lg dah gw T^T

    cieee blogger nih skrg..asah trus bakat menulismu ui-chan~
    heheh

    ReplyDelete
  2. Mengingatkan gue sama alm. temen gue. Namanya juga Satria.

    ReplyDelete