Death
Ku buka mata ini saat sinar mentari membasahi tubuh yang menggigil kedinginan. Kepala ku berat, namun ku tetap mencoba untuk bangkit. Ku hela nafas panjang saat melihat kondisi kamarku. “WOW,” hanya itu yang keluar dari mulut ku saat menyadari betapa malasnya aku untuk membersihkan kamar ku sendiri.
“Gue harus beresin semua kekacauan ini, kalau gak mau liat orang itu ngamuk!” gumamku, memungut handukku yang tergeletak lemah dilantai kamar. Aku melangkah pelan menuju kamar mandi yang ada dikamarku.
Perlahan ku tanggalkan semua pakaian yang melekat ditubuhku. Ku beranikan diri untuk membasahi tubuh ku dengan air dingin, pagi ini. Sejenak ku tutup mata ku. Ku biarkan air dingin terus membasahi sekujur tubuh ini dan ku mencoba mengingat apa yang sudah terjadi tadi malam, tak ada satu pun yang ku ingat kecuali tugas Logaritma yang belum kukerjakan. Ku percepat mandi ku dan berharap masih ada waktu untuk mengerjakannya.
Death
“Akhirnya selesai juga! Huh… untung masih ada waktu,” senyumku lega. Ku masukan semua buku dan peralatan sekolah ku kedalam tas hitam ku yang selalu menemani hari-hari ku. Ku lirik jam berbentuk panda diatas meja belajar ku. Jam 6.30 pagi. Ku terdiam sesaat. “Tumben, kok tuh orang belom neriakin gue ya?! Well dah bosen mungkin,” kata ku, menarik tas hitam ku dan memakainya.
Butuh waktu yang cukup lama untuk menemukan handphone ku yang terpendam dibawah tumpukan barang-barang tak berguna diatas kasur ku. Rasanya seperti menenukan harta karun bajak laut, saat menemukannya, lega dan senang. Ok! Waktunya sekolah dan bersandiwara lagi!
Death
Rasanya seperti bukan rumah sendiri. Seperti berada dikehidupan orang lain. Kenapa rumah ini begitu sepi!? Kemana perginya dua makhluk menyeramkan itu!? Peduli apa! Sarapan!!!!
Ku turuni anak tangga satu per satu, berharap ada sedikit makanan diatas meja makan. Dan… hore…!!!! Kosong! Sial…!!!
Ku periksa saku kemeja sekolah ku, masih berharap ada sisa uang jajan kemarin dan lagi-lagi tak ada yang tersisa! Oh tunggu dulu! Dompet!
Secepat mungkin ku keluarkan dompet ku dari dalam tas dan syukur hanya dompet yang ku punya! Sial…!!!! Hm… masa iya pagi ini gak sarapan!? Sejenak ku berpikir dan teringat akan uang yang kemarin baru dikirim Kak Dimaz dari Inggris. Dengan semangat 45, ku berlari menaiki tangga menuju kamar ku atau bisa dibilang gudang. Heheheheh…
Death
“Ini sih tetep gak bisa sarapan! Mesti ke money changer dulu baru bisa makan, sial!!!” keluh ku, menutup pagar rumah. Ku lirik jam tangan ku, jam 7 tepat. Harus buru-buru kalau gak mau dihukum si Gila!!! Gumam ku dalam hati.
Ku percepat langkah ku atau tepatnya berlari secepat yang ku bisa. Itu kan Rangga!? Kok nyantai banget sih! “Rangga!!!” panggil ku. Rangga menoleh, namun tak ada senyum hangat yang biasa ia berikan. Ku berhenti berlari saat tepat disampingnya. Nafas ku tak karuan.
“Ga, kok gak buru-buru sih!?” tanya ku, masih mencoba mengatur nafas ku. Rangga hanya diam dan terus berjalan. “Rangga!?” ku perhatikan wajah Rangga, ada kesedihan yang coba ia sembunyikan. Perlahan senyum itu kembali. Ini yang membuat ku terus bertahan hingga hari ini.
Death
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, banyak yang ku ceritakan pada Rangga. Mulai dari film terakhir yang dapat ku ingat sampai kekonyolan kami berdua dan lagi-lagi yang dapat ku ingat. Rangga tak banyak bicara hanya sesekali tersenyum dan masih terus berusaha menutupi kesedihannya. Berulang kali ku tanya apa yang membuatnya sedih, namun Rangga hanya menggelengkan kepalanya. Tahukah Rangga, jika ia sedih hati ini pun ikut sedih?!
Tak terasa sudah didepan kelas. Aku duduk tepat disamping Rangga. Bersyukur, pagi ini tidak telat. Rangga terus diam sepanjang hari, membuat ku kesal.
Saat bel istirahat pertama berbunyi, Iman, teman satu tim basket dengan Rangga yang juga teman satu kelas ku dan Rangga, berjalan menghampiri ku dan Rangga.
“Ga, sabar ya! Kita semua doain yang terbaik kok! Elo jangan kayak orang yang nyaris mati gitu dong! Gak punya semangat! Justru elo yang harusnya lebih semangat!” ucap Iman, menepuk pundak Rangga. Rangga hanya tersenyum miris. “Ok! Ke kantin yuk!” ajak Iman, namun Rangga menolaknya. Iman berjalan keluar kelas.
“Kok Iman gitu sih Ga! Kenapa dia gak nyapa gue coba?! Rese!” kesal ku, merasa diabaikan. Rangga bangkit dari duduknya, berjalan kearah halaman belakang sekolah.
Death
Rangga duduk tepat dibawah pohon tempat aku dan Rangga sering menghabiskan waktu istirahat atau sekedar bolos pelajaran. Rangga merubah posisinya. Ia berbaring menatap putihnya awan diatas kepalanya. Ia mulai menutup kedua matanya. Wajahnya polosnya saat tertidur semakin membuat ku tergila-gila, ini juga menjadi salah satu kenapa aku masih bertahan.
Death
“Coba tebak! Bentuk awan itu mirip apa?” tanya Delia, menunjuk sebuah awan. “Gak tau! Silau!” jawab Rangga, menutup matanya dan memunggungi Delia. Delia merubah raut wajahnya. “Rangga! Ayo tebak!” pinta Delia. “Gak!” tolak Rangga. “Apa susahnya sih cuman nebak doang!” pinta Delia kesal. “Susah! Lagi juga ini kan permainan waktu kita kecill dulu, udah gak ada pantes-pantesnya untuk dimainin lagi!” jelas Rangga.
“Rese!”
“Mau kemana?!”
“Terserah dong! Toh elo juga gak akan peduli!”
“Delia! Jangan kayak anak kecil gitu dong!”
“Toh gue emang lebih suka jadi anak kecil yang gak ngerti dan gak tau apa-apa dibandingkan jadi……”
“DELIA!”
Death
“Gak apa-apa kan?” tanya Rangga, membantu Delia berdiri. “Kenapa sih gak bilang kalau ada lubang?!” gerutu Delia kesal. Rangga sedikit menahan tawanya. “Udah deh gak usah ngeledek!” ucap Delia semakin kesal.
“Maaf deh! Mana yang sakit?”
“Gak ada!”
“Gak usah sok jagoan deh! Tangan luka gini juga! Tuh liat air matanya mau tumpah! Ayo ngaku mau nangiskan?!”
“Rangga apaan sih!”
“Muka elo tuh makin merah! Bisa jalan gak?”
“Bisa lah! Kan yang luka tangan gue, bukan….”
“Kenapa?! Ya ampun Del!”
“Udah jangan ketawa!”
“Iya… iya… maaf! Nih tutupin rok elo yang robek pake jaket gue! Lain kali kalau mau ngambek liat-liat ya!”
“Udah deh ngeledeknya!”
“Muka elo tuh makin merah! Ke UKS yuk, biar tangan elo diobatin!”
Death
Rangga membuka matanya, merubah posisinya kembali duduk bersandar pada batang pohon. Ia menarik nafas panjang, memejamkan matanya lagi. Ada yang berubah dari Rangga, seakan sudah lama tidak bertemu. Kenapa alasan gue bertahan itu elo Ga!?
Rangga bangkit dari duduknya, berjalan menuju kelas. Aku merasa ada yang aneh hari ini. Bukan hanya Iman, hampir semua orang mengabaikan ku, begitu juga Rangga. Ada apa sebenarnya!?
Death
Di tengah-tengah pelajaran Kimia, salah seorang guru piket masuk kekelas. Wajahnya tegang, membuat seisi kelas ikut tegang. Beberapa kali, guru piket itu melirik ke arah Rangga. “Rangga, kamu boleh meninggalkan kelas dan bawa tas kamu. Kelas kita akhiri sampai disini. Selamat Siang!” ucap Bu Yeli, merapihkan mejanya.
Rangga memasukkan semua buku-bukunya kedalam tas, setelah Bu Yeli meninggalkan kelas.
“Ga, elo mau kemana?” tanya ku, namun Rangga diam. Dia hanya menatap ku dingin. “Gue ikut, Ga!” pinta ku paksa.
Death
Rumah sakit!? Untuk apa Rangga ke rumah sakit!? Siapa yang sakit!?
Death
Rangga mempercepat langkahnya, namun tidak berlari. Rangga berhenti melangkah ketika melihat tiga orang yang tak asing berdiri tak jauh dari tempat Rangga berdiri. Kak Dimaz!? Mama!? Papa!?
Rangga mencoba melangkah, tenang. Mama menangis dipelukan Papa. Kak Dimaz bersandar pada salah satu dinding rumah sakit. Tangis Mama semakin menjadi saat melihat Rangga. Mama memeluk Rangga.
“Delia, Ga!” tangis Mama. “Delia meninggal!”
Dunia ku seakan berhenti berputar. Sebuah kereta dorong keluar dari kamar yang berada tepat dihadapan kami semua. Mama berlari memeluk seseorang yang terbaring kaku diatasnya, meneriaki nama ku. Mama membuka selimut yang menutupi wajah orang itu. Seakan terkena petir disiang hari, itu aku.
Kak Dimaz, mencoba menguatkan Mama. Rangga hanya terduduk lemas. Wajahnya sedih dan dingin. Perlahan pipi ku basah. Ini semua mimpi! Ku coba yakinkan diri ku sendiri. Ini bohong! Kepala ku mulai terasa berat. Ada beberapa gambaran diingatan ku. Ku coba mengingat semuanya. Menjadikan semuanya satu cerita utuh. Air mata terus berjutuhan menemani semua rasa bingung. “Kenapa begini!? Ini mimpi! Ini cuman mimpi!!!” Jerit ku tak percaya. Ku tutup wajah ku dengan kedua telapak tangan ku dan ku ingat semuanya.
Death
Aku menangis disudut kamar ku yang gelap. Di luar, ada dua makhluk menyeramkan saling melempar caci maki, bahkan barang-barang disekitar mereka.
Sesaat sebelumnya, ku keluarkan semua pakaian ku dari dalam lemari. Ku lempar kesegala arah, mencoba melepaskan sakit hati yang tak terobati. Dalam sekejap kamar ini seperti terkena badai topan yang besar. Bahkan ku lempar boneka beruang pemberian Rangga, yang selama ini menjadi obat dari segalanya, ke arah cermin besar dikamar ku.
Air mata tak kunjung berhenti mengalir, ku harap bisa memberi ketenangan barang sedikit namun tidak sama sekali. Semakin jenuh, semakin rumit dan semakin sakit yang ku rasakan saat ini. Tak seorang pun yang mau mengerti. Tak seorang pun yang mau menemani. Tak seorang pun yang mau tahu.
Ku coba menjeritkan rasa sakit ini namun sulit. Ku coba segala cara agar ku dapat ketenangan masa remaja ku. Tapi nol yang ku dapat. Semua berantakan. Semua menjauh. Semua menyakiti ku!
Siapa pun tolong aku! Teriak ku dalam hati. Air mata terus menggarami luka yang semakin perih. Terlintas wajah tenang Rangga, memberikan sedikit rasa nyaman dan aman. Senyum hangat itu yang ku mau! Tawa canda itu yang menjadi penawar sakit hati ini. Kebaikan hatinya yang membuat ku lupa akan semua kekacauan ini.
Ku coba menghubungi Rangga, terus ku coba dan terus ku coba. Hingga aku menyerah. Aku kehilangan semuanya. Aku benci sendiri! Aku benci seperti ini! Aku muak! Aku jenuh! Aku bosan! Cukup! Cukup sudah! Aku keluar dari permainan konyol dan gila ini! Biarkan aku keluar dari semua kegilaan yang menyakitkan ini! Biarkan aku berhenti dari semua kekonyolan yang menjenuhkan ini! Ku mohon!
“CUKUP!!!! DIAM!!!! Cukup!!! Delia mohon! Cukup!!!” tangis ku. Ku lempar handphone ku kearah cermin hingga pecah. “CUKUP!!!!!!!”
Death
Serpihan cermin berserakan dimana-mana. Air mata berhenti menemani. Namun badai tetap berlanjut. Cukup lama ku tatap serihan cermin yang mulai menggoda ku, mengusik ketenangan jiwa yang mulai goyah. Sesuatu yang menyenangkan terlintas dikepalaku. Mati.
Ku ambil satu serpihan kaca, ku mainkan. Awalnya rasa takut menyelimuti sekujur tubuh yang gemetar ragu. Namun perlahan rasa takut lenyap. Ku dekatkan serpihan itu ke kulit halus ku. Ku buat satu goresan tak berarti di pergelangan tangan ku. Rasa tenang dan lega mulai datang menemani. Ku buat satu lagi. Air mata kembali menemani jenuh ini. Ku tutup mata ini, mencoba menetralkan perasaan yang semakin rumit. Terlintas wajah Rangga, ingin rasanya merasakan tenang dan nyaman lagi saat meningat wajahnya, namun semuanya berubah dalam sekejap. Sayang itu berubah benci dan merasa dilupakan. Kali ini ku coba melupakan semua. Rangga, Kak Dimaz, semuanya! Yang ku inginkan hanya satu, tenang.
Perlahan sakit di kulit ini menghilang bersama datangnya cairan merah yang tak kunjung berhenti. Tenang, damai, nyaman. Rasa jenuh pun menjauh. Yang ada hanya kantuk yang tak berujung. Sesuatu yang menyenangkan bisa terlepas dari semua sakit, kecewa dan beban berat yang selama ini menghantui dan menemani masa remaja ku bahkan seumur hidup ku yang kelam dan pahit.
Death
“Ma, Pa! Delia pulang!” kata ku membuka pintu rumah. Sebuah piring mendarat di kaki ku. Sebuah tanda tanya besar menghampiri ku. Ada apa lagi!?
Ku beranikan diri untuk mendekat. Papa memukul Mama tepat diwajahnya. Caci maki keluar dari mulut dua orang yang saling mencintai dan terikat dalam perjanjian suci. Papa yang merasa kehadiran seorang pengganggu, membanting gelas tepat dihadapan ku. Entah apa yang bajingan itu katakan. Jujur! Aku tak peduli! Ia menunjuk kearah pintu kamar ku. Mama hanya mencibir. Menyalahkan ku atas apa yang tidak ku perbuat. Membandingkan ku dengan kakak ku yang mendapat beasiswa di Inggris. Mengolok-olok ku. Menghina ku seakan aku tak pernah keluar dari rahimnya.
Ku pertahankan air mata ku. Ku jaga agar tidak tumpah. Ku jaga agar aku terlihat kuat dan tegar. Aku benci selalu seperti ini! Aku muak! Aku bosan! Aku jenuh!
Death
Air mata sudah tak ada artinya lagi. Kini ku tahu kenapa semua berubah, kenapa semua menjauh dan kenapa hari ini begitu berbeda. Apa ini yang ku mau sejak dulu!?
Death
Di pemakanan. Mama terus menangis. Ingin rasanya hati ini berkata, “Ah, lima menit lagi juga lupa kalau yang dikubur itu anak perempuannya! Alah! Air mata buaya!” kata-kata yang kejam, bukan!? Tapi itu yang ku rasakan! Apa dulu dia peduli dengan perasaan putrinya!? Kenapa manusia selalu ingin berubah jika sesuatu yang buruk sudah terjadi padanya!?
Papa juga begitu. Tak ada penyesalan sedikit pun jika melihat kesedihan “pura-pura” mereka. Mereka sendiri yang membuat hati ku menjadi hitam dan membatu kepada mereka. Jadi bukan salah ku jika aku mengatakan hal yang menjijikkan dan tidak pantas dikatakan seorang anak kepada orangtuanya.
Penyesalan itu hadir, ketika ku lihat wajah dingin Rangga. Ingin sekali menyalahkannya atas semua ini. Kenapa dia tak ada saat ku butuh!? Kenapa dia tidak ada disamping ku untuk mencegah ku melakukan kebodohan itu!? Namun aku sadar, ia punya kehidupannya sendiri, yang tak pantas untuk ku ganggu.
Andai semua ini bisa berulang. Apa aku akan tetap pada pilihan ku atau merubahnya hanya karna Rangga? Hanya untuk seorang Rangga yang selalu menganggap ku ada.
Death
Semua meninggalkan aku yang tertidur lelap, sendiri, dirumah baru ku. Tidak dengan Rangga. Ia masih berdiri menatap ku, yang berdiri disampingnya. Apa Rangga tahu aku disini? Pertanyaan konyol! Mana mungkin Rangga bisa melihatku yang hanya sesosok bayangan kelam!
“Del, maaf!” kata Rangga sedih. Perlahan air mata Rangga yang selama ini coba ia tahan, tumpah. “Maaf!” katanya, berlutut didepan makam ku.
“Kalau aja gue gak terlalu sibuk dengan beasiswa konyol itu, ini semua gak akan terjadi!” tangis Rangga. “Kalau aja gue gak pernah ninggalin elo! Maaf Del! Maaf! Maafin gue!”
Air mata ku jatuh lagi. Ingin ku peluk Rangga, menenangkan hatinya yang kacau, mengatakan ini bukan salahnya, dan mengatakan aku memaafkannya. Tapi itu tak mungkin ku lakukan. Dan tak kan pernah bisa ku lakukan.
“Gue gak pernah bener-bener niat nianggalin elo, Del!” sesal Rangga. “Gue pikir dengan dapat beasiswa itu, gue bisa bawa elo pergi dari semua ini, semua yang nyakitin elo dan ngasih elo hidup baru yang elo mau, tapi gue salah! Gue terlalu antusias sampai lupa kalau elo yang terpenting dari semua rencana gue! Buat apa gue dapet beasiswa itu kalau elo gak ada? Buat apa semua kerja keras gue selama ini, kalau orang yang gue sayang udah gak ada? Maaf Del!”
Melihat Rangga yang begitu sedih dan terus-menuerus menyalahkan dirinya sendiri, hati ini semakin merasakan penyesalan yang teramat dalam. Kenapa selalu ada penyesalan?! Dan kenapa manusia memiliki rasa menyesal atas keputusaanya sendiri?! Apa itu menandakan manusia, makhluk yang tidak pernah puas akan apa yang ia pilih?! Atau menandakan jika manusia, makhluk tolol dan bodoh yang hanya bisa menyesali semua perbuatan konyol yang mereka ambil tanpa pikir panjang?! Entah lah! Tapi aku yakin, aku adalah salah satu manusia yang berada di pilihan kedua. Makhluk tolol dan bodoh yang tak pernah membuka mata akan keindahan dan kenikmatan dunia yang ku dapat dan terus meminta lebih hanya untuk kepuasan diri sendiri.
Andai aku bisa memilih dan mengulang semuanya, mungkin mati bukan pilihan. Aku sadar, jika semua menyakitkan pada saatnya. Bahkan Rangga yang menjadi penawar rasa sakit itu pun, menyakiti ku pada saatnya, hanya aku saja yang terlalu bodoh dan terlalu cepat mengambil keputusan. Aku yang salah Ga! Menyalahkan keadaaan alih-alih diri sendiri. Aku yang terlalu egois, kekanak-kanakan dan keras kepala. Aku yang salah! Salah menyikapi semuanya, salah menanggapinya, salah mengambil keputusan dan salah melangkah. . Dan kini bukan hanya penyesalan yang tersisa tapi juga kesedihan tanpa ujung.
Death
end
No comments:
Post a Comment